Prof. Dr. Djodjok soepardjo, M.Litt. mengenal bahasa Jepang di bangku kuliah. Dia pernah tinggal di Jepang selama 9 tahun untuk kuliah S-2 dan S-3. Iklim belajar dan etos kerja warga setempat ikut memengaruhinya. |
---|
Berselang beberpa menit, telepon di ruangan itu tiba-tiba bordering. Bergegas, Djodjok mengambil gagang telepon dan menjawab penelepon. “Chotto, ima raikyakuchu desu (maaf, saya sedang ada tamu, Red),” jawab Djodjok dalam bahasa Jepang lancar. Telepon tersebut berasal dari salah seorang koleganya yang tinggal di Jepang.
Ya, hubungan pria kelahiran 16 September 1958 itu dengan Negeri Sakura memang tidak bisa dipisahkan. Djodjok pernah tinggal di Jepang selama 9 tahun. Di sana Djodjok mengikuti berbagai training hingga menempuh pendidikan master dan doktor di Nagoya University bidang linguistik.
Kecintaan Djodjok pada bahasa Jepang tersebut bermula setelah lulus SMA. Waktu itu Djodjok berniat masuk ke jurusan bahasa. Namun, dia bingung memilih jurusan. “Awalnya milih bahsa Inggris. Tapi, kata kakak ipar, saya disuruh memilih bahasa Jepang,” tuturnya.
Bahasa Jepang dipilih dengan alasan belum banyak yang mempelajarinya dan punya prospek bagus. Usulan itu langsung dia setujui. Djodjok akhirnya mendaftar pada jurusan pendidikan bahasa Jepang di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Gayung bersambut, melalui serangkaian tes, Djodjok dinyatakan lolos.
Saat menempuh studi S-1, djodjok mulai mempelajari bahasa Jepang dari nol. Maklum, dia belum memiliki dasar keilmuan bahasa Jepang. Berkat kegigihannya belajar, pelan tapi pasti huruf katakana, hiragana, dan kanji mulai dia kuasai.
Setelah lulus S-1, Djodjok menempuh S-2 di Jepang. Dia terkaget-kaget melihat iklim belajar yang cukup ketat dan etos kerja yang tinggi. “Bayangkan, kalau kerja di laboraturium, mahasiswa di kampus-kampus Jepang biasa pulang jam 12 malam, bahkan hingga dini hari,” ungkap pria yang dinobatkan sebagai guru besar pada 2010 tersebut.
Etos kerja serupa terlihat pada masyarakat Jepang. Mereka sangat disiplin dan tepat waktu dalam segala hal. Kondisi itu membuat bapak dua anak tersebut harus berubah dan menyesuaikan iklim kerja di Jepang.
Lulus S-2, Djodjok langsung meneruskan ke jenjang doktor. Pada penelitian S-3 itu, Djodjok meneliti struktur makna bahasa Indonesia dan Jepang dengan model pengodean. Setiap kata bahasa Jepang dan Indonesia diberi kode-kode berupa angka untuk mencari maknanya.
Djodjok memfokuskan diri mencari padanan kosakata dasar yang sering digunakan masyarakat. Baik di Indonesia maupun di Jepang. Untuk melengkapi disertasi tersebut, Djodjok harus bekerja keras mengumpulkan sekitar 3.000 kosakata dasar dua negara.
Djodjok menyatakan, pengodean kata itu sebenarnya berfungsi mencari padanan kata yang telah diberi kode sesuai dengan kata sifat, benda, dan kerja akan lebih mudah dicari. “Dengan kode ini, padanan kata lebih mudah dipahami,” ujarnya.
(elo/c14/nda) Sumber: Jawa Pos 9 Maret 2017